Waketum PBNU: Hukum Islam tidak Cukup Berdasarkan Nash, Realitas Harus Diperhitungkan
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Zulfa Mustofa, menegaskan pentingnya dialog antara nash dan realitas dalam menetapkan hukum Islam. Hal ini disampaikannya saat membuka Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh, Ahad (11/8).
Menurut Kiai Zulfa, penetapan hukum di Nahdlatul Ulama (NU) didasarkan pada dua hal, yaitu nash (teks) dan realitas (konteks).
“Dalil syari itu dua poin pentingnya, memahami hukum dari nash dan ini sifatnya naqli. Kedua, harus memahami waqi (realitas) itu nadhariyah, itu harus diuji,” ujarnya mengutip pandangan Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat.
Kiai Zulfa menekankan bahwa memahami Al-Quran dan hadits saja tidak cukup untuk memberikan putusan hukum yang tepat. Realitas sosial dan kondisi aktual juga harus dipertimbangkan. NU selalu mengundang ahli untuk memberikan pemahaman yang komprehensif terkait realitas persoalan. Misalnya, dalam memutuskan hukum terkait kepiting, NU mengundang ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk memahami karakteristik hewan tersebut.
“Sebelumnya, para ulama menganggap kepiting itu hidup di dua alam sehingga haram. Kita tentu harus ngerti waqi (realitas). Kita cuma baca kitab yang bilang haram,” jelas Kiai Zulfa, menegaskan bahwa pengetahuan yang mendalam tentang realitas bisa mengubah pandangan hukum.
Kiai Zulfa juga memberikan contoh penerapan prinsip ini dari masa Nabi Muhammad SAW. Salah satu contoh adalah ketika Nabi memberikan kurma kepada seseorang yang batal puasa karena melakukan hubungan badan dengan istrinya di siang hari, setelah orang tersebut mengaku tidak mampu memerdekakan budak, berpuasa 60 hari berturut-turut, atau membagikan makanan kepada 60 orang miskin.
“Nabi itu fahmul waqi (memahami realitas),” kata Kiai Zulfa.
Dia juga menyebut tokoh-tokoh lain seperti Siti Aisyah, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib yang menerapkan pendekatan serupa dalam menetapkan hukum.
Rektor UIN Ar-Raniry, Mujiburrahman, menyambut baik kegiatan ini dan berharap seminar tersebut dapat memperkaya khazanah keilmuan kontemporer serta memberikan solusi atas masalah umat di era kekinian dan masa depan. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Aceh, H Azhari, juga berharap agar putusan dan kesimpulan yang dihasilkan dapat bermanfaat bagi umat.
Seminar ini diikuti oleh perwakilan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh, PWNU Sumatra Utara, PWNU Sumatra Barat, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) se-Aceh, PCNU se-Sumatra Utara, dan PCNU se-Sumatra Barat. Acara ini diselenggarakan berkat kerja sama antara PBNU, Kementerian Agama, dan UIN Ar-Raniry.
Beri Komentar (menggunakan Facebook)